Kemendag Nilai Kebijakan Kemasan Rokok Polos Tidak Cocok untuk RI

Negosiator Perdagangan Ahli Madya, Kementerian Perdagangan RI, Angga Handian Putra dalam acara CNBC Indonesia Coffee Morning Tembakau di Jakarta, Kamis (19/9/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Negosiator Perdagangan Ahli Madya, Kementerian Perdagangan, Angga Handian Putra beranggapan kebijakan kemasan polos tanpa merek pada produk tembakau di Indonesia yang terdapat dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Draf Permenkes) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik belum tentu efektif dalam menurunkan prevalensi merokok di Indonesia. Angga merujuk pada yang terjadi di Australia yang sudah lebih dahulu melakukan kebijakan ini.

“Australia itu mengeluarkan aturan pada 2013. Saat itu, ada perdebatan antarprofesor apakah kebijakan kemasan polos ini efektif berkontribusi, misalkan menurunkan prevalensi merokok pada kalangan perokok pemula,” kata Angga dalam dialog Coffee Morning dengan tema “Badai Baru Ancam Industri Tembakau: Rencana Kemasan Polos Tanpa Merek” di Jakarta, Kamis (19/9/2024).

Oleh karena itu, menurut Angga, Kementerian Kesehatan seharusnya juga memiliki bukti-bukti ilmiah yang sangat ekstensif, untuk mendukung kebijakan kemasan polos tanpa merek. Ditambah lagi, Indonesia juga tidak bisa secara serta-merta mengadopsi kebijakan polos hanya karena negara lain melakukannya. Pasalnya, beberapa negara memiliki karakteristik yang berbeda.

“Misalnya (Kementerian Kesehatan) mencontoh kebijakan-kebijakan yang sudah juga diterapkan oleh Pemerintah Australia. Pasalnya, Indonesia cukup beragam, artinya berbagai perbedaan itu perlu disikapi bahwa kebijakan kemasan polos tanpa merek yang diterapkan oleh negara lain belum tentu akan efektif diterapkan oleh Indonesia,” jelas Angga.

Angga menyebut, sebelum memberlakukan kebijakan kemasan polos tanpa merek, Australia telah melakukan kajian ilmiah sejak 2009. Artinya kebijakan tersebut telah melalui proses kajian yang panjang. Sementara di Indonesia, aturan kemasan polos tanpa merek belum didukung bukti-bukti ilmiah yang mendukung urgensi penerapan kebijakan tersebut. Bukan hanya itu, Indonesia juga memiliki pertanian tembakau, industri manufaktur, hingga peritel tradisional yang secara kolektif menyerap lebih dari 6 juta tenaga kerja. Kondisi ini tentu berbeda dengan negara lain yang menerapkan kemasan rokok polos tanpa merek seperti Australia.

Oleh karena itu, kata Angga, Rancangan Permenkes yang ada saat ini belum memiliki bukti-bukti ilmiah yang mendukung kenapa kebijakan kemasan polos tanpa merek harus diberlakukan.

“Kami berharap bahwa Kementerian Kesehatan menyertai bukti-bukti ilmiah dan memperhatikan ketentuan-ketentuan WTO yang ada,” pungkas Angga.

Lebih lanjut, Angga menegaskan bahwa pihaknya belum terlibat resmi dalam perumusan RPMK. Sejalan dengan itu, Kemendag juga tengah memberikan perhatian khusus terhadap aturan tersebut secara proaktif, meskipun tidak dilibatkan dalam proses perumusan. Sebabnya, dampak aturan ini sangat besar pada para pedagang maupun jutaan tenaga kerja.

Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menyebut Peraturan Pemerintah 28/2024 tidak dibuat dengan data dan dasar ilmiah. Dia menyebut kebijakan ini hanya meniru negara yang sudah lebih dahulu menerapkan.

“Hal-hal seperti ini yang menurut saya, dengan mudahnya, Kemenkes hanya sekedar copy-paste dari dorongan-dorongan anti-tobacco. Harapan kami, PP 28/2024 maupun Rancangan Permenkes bisa ditinjau ulang dengan membuka diskusi lagi dengan para stakeholders,” pungkas Henry.

Sementara itu, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi mengatakan, kebijakan yang terlalu membatasi, seperti kemasan polos tanpa merek dan pembatasan iklan luar ruang, hanya akan membuka peluang bagi rokok ilegal yang merugikan negara dari segi penerimaan cukai. Pasalnya, pabrikan formal yang mematuhi regulasi malahan justru terancam.

Tak hanya itu, kebijakan ini juga akan menyebabkan adanya biaya tambahan karena pabrikan harus melakukan penyesuaian saat proses produksi untuk mencetak kemasan polos tanpa merek. Oleh karena itu, Benny pun menolak standarisasi kemasan melampaui mandat yang diamanatkan beleid tersebut.

“Kebijakan ini berpotensi mengurangi daya saing produk lokal dan justru membuka peluang bagi peningkatan rokok ilegal. Sebagaimana terhadap Pasal 435 pada PP 28 Tahun 2024 yang sebaiknya dihapus, standardisasi kemasan di RPMK ini juga sebaiknya dihapus,” tegas Benny.

kas138

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*