Industri Ritel Bakal Terpukul dari Zonasi Penjualan Produk Tembakau

Ketua Umum APARSI, Suhendro dalam acara CNBC Indonesia Coffee Morning Tembakau di Jakarta, Kamis (19/9/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Ketua Umum Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI) Suhendro mengatakan, kelas paling bawahlah yang akan merasakan dampak dari kebijakan pemerintah yang melarang penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Larangan ini terdapat dalam Peraturan Pemerintah 28/2024.

“Kebijakan ini akan mengancam keberlangsungan hidup pedagang. Selain itu, bagaimana pemerintah melakukan pengawasannya?” ungkap Suhendro dalam dialog Coffee Morning dengan tema “Badai Baru Ancam Industri Tembakau: Rencana Kemasan Polos Tanpa Merek”, Kamis (19/9/2024).

Menurutnya, dalam pengawasan jarak ritel tradisional dan modern saja pemerintah belum berhasil. Apalagi ditambah adanya pemberlakuan zonasi penjualan produk tembakau. Belum lagi, semenjak pandemi, banyak pemanfaatan ruang yang berubah, seperti sebagian ruang pada pusat perbelanjaan yang berubah menjadi tempat kursus.

“Saat ini adalah zamannya kolaborasi. Ini pemerintah malah memberatkan, ditambah lagi sekarang ritel dan institusi pendidikan itu jaraknya bisa 0 meter,” tegas Suhendro.

Oleh karena itu, dia menegaskan PP 28/2024 harus direvisi dan menghapus pemberlakuan zonasi penjualan produk tembakau, dan juga membatalkan rencana aturan kemasan polos tanpa merek, sambil memperbanyak edukasi kepada masyarakat.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Merijanti Punguan Pitaria mempertanyakan kebijakan tersebut, dan akan sulit menjustifikasi dan mengimplementasikan kebijakan zonasi penjualan produk tembakau.

“Kebijakan ini seperti tidak melalui diskusi partisipatif dan kolaboratif, sehingga menimbulkan dampak berantai pada perekonomian kita,” tegas Meri.

Meri mencatat implementasi Pasal 435 PP 28/2024 mengenai standardisasi kemasan dan desain produk tembakau seharusnya melibatkan masukan dari Kemenperin. Namun, Kemenperin tidak dilibatkan dalam proses public hearing yang digelar oleh Kemenkes, sehingga suara Kemenperin maupun dari industri hasil tembakau pun terabaikan. “Kejadian ini berulang, dan kami berharap untuk diikutsertakan dalam diskusi kebijakan yang berpengaruh besar terhadap industri kami,” katanya.

Senada, Ketua Dewan Penasihat Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Tutum Rahanta mengatakan, kebijakan zonasi penjualan produk tembakau ini mempersulit peritel. Pasalnya, saat ini banyak bangunan vertikal, yang akhirnya justru menimbulkan kerancuan.

Tutum juga menjelaskan bahwa rokok adalah produk legal. Namun Kementerian Kesehatan masih mengutak-atik dan seolah mau membunuh industri ini.

“Saya kira kita harus secara bijak melihat posisi negara kita adalah negara produsen. Sehingga, kebijakan yang diambil juga harus sesuai,” pungkas Tutum.

kadobet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*