Foto arsip – Kavaleri Ukraina saat latihan militer di Ukraina timur pada 13 Mei 2016. Bagian terbesar Ukraina timur diduduki Rusia sejak pasukan pemerintahan Presiden Vladimir Putin menginvasi Ukraina pada Februari 2022. (Kementerian Pertahanan Ukraina via Wikimedia Commons.)
Perang Ukraina sepertinya bakal berakhir begitu Amerika Serikat dipimpin kembali oleh Donald Trump yang akan dilantik pada 20 Januari 2025.
Baik Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy maupun Presiden Rusia Vladimir Putin sudah mengisyaratkan kesediaan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 34 bulan itu.
Saat berbicara dalam forum Valdai Discussion Club di Sochi pada 7 November 2024, Putin menyatakan terbuka pada prakarsa mengakhiri konflik di Ukraina, hanya jika Ukraina dan Barat menunjukkan komitmen jelas untuk resolusi konflik.
Putin juga menegaskan tak akan mundur dari Ukraina timur karena terlampau penting secara strategis dan kultural bagi Rusia, apalagi Ukraina sudah menjadi harga dirinya mengingat belum lama ini dia tertampar di Suriah karena tak bisa melindungi sekutunya tetap di kursi kekuasaan.
Di lain pihak, Zelenskyy tak lagi bersikukuh pada posisinya di Ukraina timur dan Krimea, yang ia sebut bisa didapatkan lagi dengan cara diplomatik suatu saat nanti.
Dalam wawancara dengan Sky News pada 30 November 2024, Zelenskyy menyatakan bersedia mengesampingkan dulu wilayah-wilayah Ukraina yang dianeksasi Rusia.
Tapi dia mengajukan syarat bahwa Ukraina harus diizinkan masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan meminta keamanan wilayah-wilayah Ukraina yang tidak diduduki Rusia, dipayungi oleh NATO.
Perubahan sikap Zelenskyy itu tak mengejutkan, jika dikaitkan dengan perubahan politik di AS dengan naiknya lagi Trump.
Trump sendiri berulang kali menyatakan akan mengakhiri perang Ukraina yang kalau perlu disertai dengan rencana kontroversial seperti disinggung pasangannya, JD Vance, yang meminta Ukraina merelakan wilayah-wilayahnya yang diduduki Rusia.
Pertanyaannya, konsesi apa yang dijanjikan AS kepada Ukraina jika bersedia melepaskan wilayah-wilayahnya itu kepada Rusia?
Konsesi menjadi penting karena selain tak akan mundur dari daerah-daerah Ukraina yang didudukinya dan tak menghendaki Ukraina masuk NATO, Putin juga merasa lebih kuat karena sanksi internasional terkait perang di Ukraina ternyata tak bisa merontokkan kekuasaannya.
Realitas ini menjadi tantangan berat yang dihadapi Trump, apalagi dia juga harus menghadapi opini publik di AS.
Jajak pendapat Pew Research Center pada 17 November 2024 menunjukkan 50 persen warga AS menginginkan negaranya tetap membantu Ukraina.
Jika berdasarkan spektrum pemilih Republik dan Demokrat, 36 persen pemilih Republik menginginkan AS tetap membantu Ukraina. Pada pemilih Demokrat angka itu jauh lebih besar, mencapai 65 persen.
Semua kelelahan
Opini publik itu tak boleh diabaikan Trump karena bisa merusak tingkat kepuasan publik kepadanya nanti. Akan membahayakan jika diabaikan karena bisa menggoyahkan posisi Republik di parlemen sehingga menyulitkan kerja pemerintahan Trump.
AS akan menggelar pemilu sela pada 2026, untuk memilih kembali anggota DPR. Jika pemilu sela itu membuat Demokrat kembali menjadi mayoritas di parlemen karena sebagian besar rakyat tak puas atas kebijakan-kebijakan Trump termasuk di Ukraina, maka posisi Trump ada dalam bahaya.
Semua skenario itu membuat pengakhiran perang di Ukraian terlihat pelik untuk siapa pun.
Tapi paling tidak, Trump bisa memanfaatkan kelelahan yang dialami Rusia dan Ukraina akibat perang itu.
Jajak pendapat Gallup yang dirilis 19 November 2024 mengungkapkan 52 persen rakyat Ukraina menginginkan perang segera diakhiri. Hanya 38 persen yang menginginkan Ukraina terus berperang sampai menang.
Kelelahan juga dialami Rusia. Beberapa jajak pendapat yang diadakan kelompok oposisi Rusia, menunjukkan dukungan kepada perang di Ukraina, tak lagi sebesar dulu.
Perang Ukraina sendiri telah menyulitkan kehidupan ekonomi rakyat Rusia, yang menurut beberapa laporan telah menaikkan inflasi hingga 7,4 persen pada Januari 2024 sehingga rakyat Rusia kesulitan membeli pangan dan sandang.
Kesulitan ekonomi sebagai dampak perang Ukraina itu dilukiskan oleh koran ternama Rusia, Moskovsky Komsomolets, pada Maret 2024.
Koran itu mengungkapkan rakyat Rusia ingin hidup tenang, tapi justru disulitkan oleh perang berkepanjangan dan kebijakan pengetatan ikat pinggang yang tak tahu berlaku sampai kapan.
Hanya karena lalu lintas informasi di Rusia tidak seterbuka di Ukraina saja, opini publik di Rusia tak terekspos luas.
Yang jelas, energi Rusia tersita banyak di Ukraina sampai harus menurunkan skala kontingensi kekuatan militernya di sejumlah negara, termasuk Suriah di mana rezim Bashar Al Ashad tumbang di tangan pasukan koalisi perlawanan anti-Bashar pimpinan Hayat Tahrir al Sham.
Tak cuma Ukraina dan Rusia yang kelelahan, Amerika Serikat pun sudah jemu oleh penglibatan internasionalnya sehingga rakyat mereka beralih lagi kepada Donald Trump yang anti-globalisme, pada Pemilu 2024.
Trump sendiri tak ingin energi AS terkuras oleh konflik Ukraina-Rusia karena bisa mengalihkan fokus kebijakannya yang bakal tercurah kepada pola hubungan penuh persaingan dengan China.
Atas alasan semua ini Trump diyakini bakal sekuat tenaga mengakhiri perang Ukraina-Rusia.
Sulit ditebak
Konflik Ukraina-Rusia bisa dijelaskan dari awal runtuhnya Uni Soviet pada 1991, yang melahirkan beberapa negara baru, salah satunya Ukraina.
Tapi berbeda dengan pecahan-pecahan Soviet yang lain, Ukraina mewarisi 2.000 senjata nuklir peninggalan Soviet, lengkap dengan peluru kendali dan bomber-bomber strategis, yang membuat Ukraina menjadi pemilik senjata nuklir ketiga terbesar di dunia setelah AS dan Rusia.
Pada 1994 di Budapest, Hungaria, Presiden Bill Clinton menengahi perundingan antara Rusia dan Ukraina, serta Inggris, mengenai solusi senjata nuklir warisan Soviet di Ukraina.
Perjanjian itu lalu mengamanatkan Ukraina agar menyerahkan semua senjata nuklir itu kepada Rusia, dengan imbalan Rusia wajib menghormati kemerdekaan dan kedaulatan Ukraina, serta dilarang menggunakan kekuatan militer terhadap Ukraina. Sebaliknya, AS dan Inggris berjanji membantu Ukraina jika diserang Rusia.
Ternyata itu omong kosong belaka karena pada 2014 Rusia menduduki Krimea, AS dan Inggris cuma bisa diam.
Pemerintah Barack Obama yang saat itu memimpin AS, enggan memberikan bantuan senjata kepada Ukraina karena tak ingin membuat Rusia terprovokasi untuk melancarkan perang yang lebih luas.
Tapi begitu pemerintahan AS digantikan oleh Trump, kebijakan Obama itu langsung tercampakkan karena untuk pertama kalinya AS memberikan bantuan senjata kepada Ukraina.
Trump juga tegas terhadap Putin. Salah satu bukti ketegasan itu terlihat ketika dia memberi lampu hijau kepada militer AS untuk menyerang tentara bayaran Wagner Group di Suriah timur, tanpa takut membuka front dengan Rusia.
Ternyata, Trump yang nekat, membuat Putin mengendalikan diri. Tapi, begitu Trump terpental dari kekuasaan untuk digantikan Joe Biden pada 2021, Putin menyerang Ukraina pada 20 Februari 2022.
Kini Trump berkuasa lagi di AS. Putin bakal menghadapi lagi pendekatan Trump yang sulit ditebak.
Semasa kampanye Pemilu 2024 ketika Trump masih menghadapi Biden, Putin mengaku lebih menyukai Biden karena lebih bisa ditebak ketimbang Trump.
Bagi pemimpin sekaliber Putin, lawan yang sulit ditebak bisa menyulitkan langkah politik mereka karena bisa merusak semua kalkulasi politik yang bisa tiba-tiba memojokkan posisi mereka.
Untuk itu, dengan kualifikasi seperti itu Trump bisa menjadi faktor menentukan dalam mengakhiri perang Ukraina-Rusia, walau itu harus dibarengi dengan konsesi-konsesi yang menyakitkan semua pihak yang berperang.
Gejala untuk babak akhir konflik itu sendiri sudah terlihat dari prilaku Rusia dan Ukraina yang kian intensif menyerang satu sama lain. Mereka tampaknya berusaha menguatkan posisi masing-masing sebelum perundingan benar-benar terjadi demi konsesi yang seimbang dalam perundingan itu.